Kereta Cepat dan Bayang-Bayang Gagal Bayar
Oleh Kyai Kampung
Ketika laporan keuangan terbaru mengungkap potensi gagal bayar proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, publik seolah diajak menengok ulang euforia lama tentang kemajuan yang dijanjikan. Di awal, proyek ini dielu-elukan sebagai simbol lompatan peradaban: Indonesia yang melaju secepat peluru, mengejar masa depan lewat rel baja dan ambisi. Kini, sepuluh tahun berselang, yang melaju justru bunga utang dan biaya operasional yang tak tertutup oleh tiket.
Janji pemerintah bahwa proyek ini tak akan memakai sepeser pun dana APBN tinggal catatan pidato. Seiring waktu, politik bisa berjanji, tapi ekonomi tak bisa berdusta. Laporan menunjukkan bahwa pendapatan Whoosh tak sanggup menutupi setengah dari ongkos jalan. Setiap kilometer perjalanan menambah beban, bukan menutup defisit.
Dari awal, para ekonom sudah mengingatkan. Rizal Ramli menyebut proyek ini lahir dari dorongan prestise, bukan kebutuhan. Faisal Basri bahkan menegaskan bahwa kereta cepat Jakarta–Bandung tak akan balik modal “bahkan hingga kiamat”. Tapi kritik-kritik itu tenggelam dalam sorak pencapaian. Infrastruktur dijadikan panggung visual politik: penuh simbol, tapi miskin hitungan. Dan ketika retorika “tanpa APBN” bergeser menjadi “tolong APBN”, publik tahu bahwa citra yang dibangun dari utang akhirnya runtuh oleh bunga.
Ignasius Jonan, menteri perhubungan kala itu, memilih tidak hadir dalam peletakan batu pertama. Diamnya adalah sikap, bukan kebetulan. Ia tahu jarak 142 kilometer tak butuh kereta secepat peluru, melainkan tata transportasi yang rapi. Kini, suara Jonan bergema dalam sikap Menteri Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak usulan agar APBN menanggung beban utang Whoosh. Sebuah keputusan teknokratik sekaligus moral: negara tak boleh menambal lubang kesalahan politik dengan uang rakyat.
Dalam berbagai kesempatan, Prabowo Subianto menegaskan bahwa pembangunan harus mengikuti logika kebutuhan, bukan obsesi pencitraan. Pandangan itu kini menemukan momentumnya. Di bawah pemerintahannya, arah kebijakan infrastruktur mulai berubah dari gegap gempita menjadi kehati-hatian. Dari ambisi menuju akal sehat.
Yang kian jelas adalah jebakan utang yang mengintai. Skema pembiayaan proyek melalui China Development Bank kini memperlihatkan sisi lain dari diplomasi Beijing: jebakan lunak yang menjerat banyak negara. Indonesia tampaknya sedang berjalan di lintasan yang sama—dengan bunga pinjaman yang tak kunjung terbayar dan arus kas yang tak menentu.
Keberanian Purbaya menolak intervensi APBN menandai kembalinya nalar fiskal yang lama hilang. Ia mengingatkan bahwa pembangunan bukan perlombaan kecepatan, melainkan perjalanan akal sehat. Bahwa kebanggaan tak diukur dari panjang rel, tetapi dari daya tahan ekonomi yang menopangnya.
Kereta Whoosh barangkali akan tetap melaju di antara Bandung dan Jakarta. Tapi sejarah akan mencatatnya bukan sebagai lambang kemajuan, melainkan peringatan: bahwa ambisi tanpa perhitungan hanya akan membawa negara melaju cepat menuju kebuntuan.















