Example floating
Example floating
Example 728x250
BeritaHukrimNasionalPolitikUncategorizedWilayah

Amicus Curiae Angkat Suara dalam Praperadilan Nadiem Makarim: Kritik atas Arah Pengawasan Hukum

14
×

Amicus Curiae Angkat Suara dalam Praperadilan Nadiem Makarim: Kritik atas Arah Pengawasan Hukum

Sebarkan artikel ini

Amicus Curiae Angkat Suara dalam Praperadilan Nadiem Makarim: Kritik atas Arah Pengawasan Hukum

Jakarta — Perkembangan terbaru dalam sidang praperadilan yang diajukan oleh mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, memunculkan dinamika baru di ruang peradilan Indonesia. Sejumlah amicus curiae atau sahabat pengadilan resmi menyampaikan pandangan tertulis yang menyoroti aspek hukum serta prinsip keadilan dalam perkara ini.

Dalam dokumen yang diserahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Jumat (10/10/2025), para amicus curiae menilai bahwa praktik praperadilan di Indonesia belakangan ini kerap mengalami “pergeseran makna” dari tujuan awalnya — yakni sebagai instrumen pengawasan terhadap kewenangan penyidik, bukan sebagai ruang penghakiman terhadap seseorang yang belum tentu bersalah.

Latar Belakang Kasus

Praperadilan ini diajukan oleh pihak Nadiem Makarim untuk menanggapi penetapan statusnya sebagai tersangka oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan penyimpangan dalam pengelolaan program digitalisasi sekolah tahun 2023–2024. Kasus tersebut menjadi perhatian publik karena melibatkan kebijakan teknologi pendidikan yang sempat dianggap sebagai inovasi strategis di masa pasca-pandemi.

Melalui kuasa hukumnya, Nadiem membantah seluruh tuduhan dan menyatakan bahwa seluruh kebijakan yang dijalankan memiliki dasar hukum yang kuat, serta melalui proses administrasi negara yang terbuka dan dapat diaudit. Ia menilai bahwa langkah penetapan tersangka terlalu dini dan tidak mencerminkan prinsip due process of law.

Pandangan Para Amicus Curiae

Dalam pernyataan tertulisnya, kelompok amicus curiae yang terdiri dari akademisi hukum, mantan hakim, dan praktisi peradilan menegaskan bahwa praperadilan semestinya berfungsi sebagai mekanisme untuk mengoreksi prosedur hukum, bukan untuk menilai substansi perkara.

“Praperadilan bukan tempat membuktikan seseorang bersalah atau tidak. Ia adalah benteng pertama dalam memastikan penyidik tidak bertindak di luar batas kewenangannya,” tulis tim amicus dalam dokumen yang diterima pengadilan.

Mereka juga menyoroti bahwa dalam beberapa tahun terakhir, fungsi praperadilan mulai “meluas” ke ranah yang seharusnya menjadi domain persidangan utama. Hal ini, menurut mereka, dapat mengaburkan batas antara pengawasan hukum dan penilaian fakta.

“Ketika praperadilan berubah menjadi arena pembuktian, maka ia kehilangan rohnya sebagai mekanisme kontrol. Ia berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan melemahkan akuntabilitas penegak hukum,” ujar salah satu amicus, Prof. Maria S. Lestari, Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia.

Konteks Hukum dan Keadilan

Konsep amicus curiae sendiri, meski relatif baru dikenal dalam praktik hukum Indonesia, semakin sering digunakan dalam perkara-perkara yang memiliki dampak publik luas. Tujuannya adalah memberikan pandangan objektif agar hakim dapat melihat perkara dari perspektif yang lebih luas, melampaui kepentingan sempit para pihak.

Dalam kasus ini, para amicus curiae mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan antara diskresi penyidik dan hak konstitusional warga negara. Mereka menilai bahwa lembaga penegak hukum memiliki kewenangan besar dalam menentukan arah penyelidikan, namun kekuasaan itu harus selalu diawasi agar tidak berubah menjadi alat represif.

“Diskresi penyidik bukan berarti kebebasan tanpa batas. Ia tetap harus tunduk pada prinsip legalitas dan proporsionalitas. Jika praperadilan tidak lagi mampu menjadi pengawas, maka negara kehilangan salah satu mekanisme check and balance yang paling penting,” tegas tim amicus dalam dokumen tersebut.

Respons Publik dan Pemerhati Hukum

Kasus ini sontak memancing perhatian masyarakat luas, terutama di kalangan pemerhati kebijakan publik dan akademisi hukum. Banyak yang melihat bahwa praperadilan Nadiem Makarim bukan sekadar soal pribadi, tetapi juga ujian terhadap integritas sistem hukum Indonesia.

Pengamat hukum pidana dari Universitas Airlangga, Hendra Purnama, menilai bahwa keterlibatan amicus curiae menandakan meningkatnya kesadaran publik terhadap pentingnya kontrol terhadap lembaga penegak hukum.

“Dalam konteks hukum modern, amicus curiae menjadi bagian dari partisipasi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan adil dan transparan. Ini adalah kemajuan demokrasi,” ujar Hendra saat dihubungi pada Sabtu (11/10/2025).

Ia juga menambahkan bahwa peran publik dalam mengawasi proses hukum semacam ini sangat penting, terutama ketika kasus melibatkan figur publik dengan pengaruh besar.

Sikap KPK dan Jadwal Sidang

Sementara itu, juru bicara KPK, Ali Fikri, dalam keterangannya menyatakan bahwa lembaganya menghormati seluruh proses hukum yang sedang berjalan, termasuk kehadiran amicus curiae dalam sidang praperadilan. Namun, KPK menegaskan bahwa seluruh proses penetapan tersangka terhadap Nadiem sudah sesuai prosedur dan memiliki bukti awal yang cukup.

“Kami menghargai pandangan hukum dari berbagai pihak, namun KPK bekerja berdasarkan hukum dan bukti, bukan opini. Kami siap membuktikan bahwa langkah kami sah dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku,” ujar Ali.

Sidang praperadilan sendiri dijadwalkan kembali digelar pada Senin (13/10/2025) mendatang, dengan agenda pembacaan tanggapan dari pihak termohon, dalam hal ini KPK.

Potret Penegakan Hukum yang Sedang Diuji

Perkara ini dinilai menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan praktik hukum Indonesia. Ia tidak hanya menyangkut satu individu, tetapi juga menyentuh isu yang lebih besar: bagaimana hukum dipraktikkan dalam sistem pemerintahan yang modern dan terbuka.

Jika praperadilan ini berhasil menegaskan kembali batas-batas kewenangan penyidik dan pentingnya prinsip proporsionalitas, maka dampaknya bisa sangat luas terhadap masa depan penegakan hukum di Indonesia.

Sebaliknya, bila pengadilan mengabaikan pandangan amicus curiae dan memilih jalur formalistik semata, maka hal itu bisa menimbulkan preseden baru yang berpotensi melemahkan kontrol publik terhadap lembaga penegak hukum.

Penutup

Kini, perhatian publik tertuju pada ruang sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di sana, bukan hanya nasib hukum seorang mantan menteri yang dipertaruhkan, melainkan juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keadilan itu sendiri.

Dalam atmosfer demokrasi yang menuntut transparansi dan keadilan, suara dari para sahabat pengadilan itu menjadi pengingat bahwa hukum sejatinya bukan sekadar teks undang-undang, tetapi juga cermin moral dari bangsa yang menegakkannya.

Wartawan : Rica Silviana

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *