Hari Kesaktian Pancasila – Menghormati Nilai atau Sekadar Seremoni?
Setiap 1 Oktober, kita disuguhi tayangan upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Para pejabat hadir dengan pakaian resmi, pidato dibacakan, penghormatan kepada para pahlawan Revolusi dikumandangkan. Namun, di luar pagar upacara, publik masih mempertanyakan: mengapa hari bersejarah ini tidak ditetapkan sebagai libur nasional?
Pertanyaan itu bukan soal remeh. Sebab, libur nasional sering dipandang sebagai bentuk pengakuan negara terhadap pentingnya suatu peristiwa. Lihat saja, Hari Lahir Pancasila 1 Juni ditetapkan sebagai libur sejak era Presiden Jokowi. Lalu, mengapa Hari Kesaktian Pancasila justru dibiarkan sekadar menjadi agenda rutin tanpa status libur?
Sebagian warganet berkomentar, “Kalau memang sakti, kenapa tak diliburkan?” Ungkapan satir ini mencerminkan keresahan: nilai luhur Pancasila sering diagungkan di podium, tapi jarang dihidupi dalam kebijakan.
Di sisi lain, ada pula yang menolak gagasan menjadikannya libur. Bagi mereka, Pancasila bukan soal hari merah di kalender, melainkan keberanian melawan intoleransi, keberpihakan pada rakyat kecil, dan keberanian menolak korupsi. Apa gunanya libur kalau praktik sehari-hari jauh dari nilai Pancasila?
Di sinilah dilema kita. Negara masih lebih sibuk menggelar seremoni, sementara rakyat menunggu bukti nyata bahwa Pancasila benar-benar menjadi dasar pijakan. Seandainya pejabat publik serius mengamalkan Pancasila, mungkin tak ada lagi polemik soal libur atau tidak libur.
Sampai hari ini, peringatan Hari Kesaktian Pancasila tetap berlangsung khidmat, tapi terasa hampa bila tak diikuti tindakan nyata. Sebab, Pancasila yang sakti bukan yang diperingati setahun sekali, melainkan yang hidup di hati dan perilaku bangsa setiap hari.
Oleh: Redaksi















