Example floating
Example floating
Example 728x250
BeritaHukrimNasionalUncategorizedWilayah

Penemuan Unsur Pidana dalam Tragedi Ambruknya Ponpes Al Khoziny: Siapa yang Akan Bertanggung Jawab?

12
×

Penemuan Unsur Pidana dalam Tragedi Ambruknya Ponpes Al Khoziny: Siapa yang Akan Bertanggung Jawab?

Sebarkan artikel ini

Penemuan Unsur Pidana dalam Tragedi Ambruknya Ponpes Al Khoziny: Siapa yang Akan Bertanggung Jawab?

Sidoarjo — Dalam perkembangan terbaru tragedi menyedihkan ambruknya gedung Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, kepolisian telah menemui unsur pidana yang memungkinkan penetapan beberapa pasal terhadap pihak yang bertanggung jawab. Pengumuman ini disampaikan oleh Kapolda Jawa Timur, yang menyebutkan bahwa kasus ini tidak hanya insiden biasa — melainkan dugaan kelalaian berat dalam pembangunan atau pengelolaan bangunan pesantren.

Kronologi Singkat dan Dampaknya

Insiden peristiwa tragis ini terjadi ketika bangunan Ponpes Al Khoziny ambrol secara tiba-tiba. Akibatnya, banyak santri tertimbun dan sejumlah besar korban tewas, luka, maupun mereka yang masih dalam proses evakuasi. Operasi penyelamatan dan pencarian korban sempat dilakukan intensif oleh tim SAR dan aparat keamanan. Hingga kini, seluruh korban sudah ditemukan dan upaya evakuasi resmi dihentikan.

Keruntuhan gedung ini menyisakan duka sekaligus tanda tanya besar: mengapa sebuah bangunan keagamaan, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak dan santri, bisa roboh secara fatal sedemikian rupa?

Pernyataan Kapolda dan Dasar Temuan Unsur Pidana

Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nanang Avianto menyampaikan bahwa penyidik telah mengidentifikasi unsur pidana dalam tragedi tersebut. Ia menyebutkan bahwa dugaan kelalaian menjadi salah satu unsur utama yang diperhitungkan. Berdasarkan penelusuran awal, polisi berencana untuk menerapkan empat pasal hukum terhadap pihak-pihak yang terkait.

Adapun pasal-pasal yang digulirkan, antara lain:

Pasal 359 KUHP (kelalaian yang menyebabkan kematian)

Pasal 360 KUHP (kelalaian dalam hal-hal tertentu)

Pasal 46 ayat (3) UU Bangunan Gedung

Pasal 47 ayat (2) UU Bangunan Gedung

Dengan menjatuhkan pasal-pasal tersebut, polisi menunjukkan bahwa tragedi ini dinilai bukan semata musibah alam atau kecelakaan biasa, melainkan kelalaian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Siapa yang Bisa Bertanggung Jawab?

Penetapan unsur pidana membuka kemungkinan bagi penyidik untuk mengidentifikasi pelaku-pelaku yang dapat dimintai pertanggungjawaban:

1. Pengembang atau kontraktor bangunan
Jika terbukti bahwa dalam proses perencanaan, desain struktur, atau pelaksanaan pembangunan, terdapat kesalahan, pengabaian standar keselamatan, atau penggunaan bahan tidak sesuai spesifikasi, maka pengembang atau kontraktor dapat dijerat.

2. Pengurus atau pengelola pesantren
Tanggung jawab pengelola pesantren termasuk memastikan bahwa bangunan yang digunakan aman, memperhatikan izin bangunan, dan melakukan pengawasan rutin. Jika pengurus lalai terhadap aspek teknis atau perawatan, mereka juga bisa dikenai tindakan hukum.

3. Pihak pengawas atau instansi terkait
Bila ada dugaan bahwa lembaga atau instansi pengawas bangunan (misalnya Dinas Penataan Ruang atau Dinas Cipta Karya) gagal melakukan fungsi kontrol atau izin secara benar, penyidik bisa menelusurinya sebagai bagian dari rangkaian tanggung jawab sistemik.

4. Profesional ahli (arsitek, insinyur struktur)
Bila hasil perhitungan struktur desain bangunan ternyata salah atau dilaksanakan tidak sesuai ketentuan teknis, profesional yang merancang atau melakukan pengawasan teknis bisa terseret dalam tuntutan pidana.

Secara keseluruhan, kasus ini menjadi sangat kompleks karena menyentuh aspek teknis struktur bangunan, regulasi perizinan, dan tanggung jawab moral dari lembaga keagamaan yang melibatkan nyawa banyak santri.

Mengapa Penegakan Hukum Sering Rumit dalam Kasus Bangunan?

Kasus-kasus keruntuhan bangunan khususnya institusi publik atau keagamaan seringkali menimbulkan hambatan dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor yang mempersulit antara lain:

Sulit membuktikan niat atau unsur kesengajaan — seringkali tali lurusnya antara kelalaian dan kesalahan teknis sulit dibuktikan.

Tanggung jawab tersebar banyak pihak — mulai dari perancang, kontraktor, pengawas, pengelola, hingga instansi pemerintah.

Dokumentasi proyek yang lemah — jika catatan perizinan, gambar teknik, atau pengawasan kurang lengkap, penyidik kesulitan menelusuri titik kesalahan.

Tekanan sosial dan institusional — lembaga keagamaan atau yayasan sering mendapat perlakuan sensitif di masyarakat, sehingga proses penegakan hukum dapat diwarnai sentimen sosial.

Namun, pengumuman polisi bahwa unsur pidana telah ditemukan menunjukkan niat tegas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi keluarga korban.

Reaksi Publik dan Harapan Korban

Sejak awal kejadian, publik terutama keluarga korban dan umat Islam di daerah sekitar sangat terpukul. Banyak yang menyalahkan pengelola pesantren, pihak konstruksi, atau lembaga perizinan yang diduga lalai. Mereka menunggu jawaban: mengapa bangunan itu tidak kuat untuk digunakan? Apakah ada pengawasan teknis yang luput? Atau adakah aspek pungutan dana pembangunan yang membebani kualitas konstruksi?

Pengumuman bahwa polisi akan menerapkan pasal pidana memberi harapan bahwa tragedi ini tidak akan berlalu begitu saja. Korban dan keluarga berhak meminta pertanggungjawaban dan minta agar insiden serupa tidak terjadi lagi di masa depan.

Tantangan ke Depan dalam Penanganan Kasus

Walau fondasi hukum sudah mulai digali, masih ada tantangan berat dalam proses penuntutan:

Pengumpulan alat bukti teknis — seperti laporan technik struktur, hasil analisis laboratorium bahan bangunan, dan rekonstruksi keruntuhan.

Saksi ahli independen — polisi harus menghadirkan ahli struktur, arsitektur, rekayasa bangunan yang dapat memaparkan penyebab runtuhnya konstruksi.

Perlindungan saksi — jika ada saksi yang terlibat dalam proses konstruksi atau pengawasan, perlindungan terhadap tekanan luar menjadi krusial.

Proses peradilan yang panjang — saat semua unsur hukum terkumpul, pembuktian di pengadilan sering memakan waktu lama.

Meski demikian, pemberian ancaman pasal pidana sekeras-kerasnya akan memberi efek jera bagi para pihak yang lalai dalam pembangunan institusi keagamaan maupun fasilitas publik.

Kesimpulan

Tragedi ambruknya gedung Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo tidak hanya menjadi bencana kemanusiaan yang menewaskan banyak jiwa santri. Kini, kepolisian telah menemukan unsur pidana yang memungkinkan penerapan pasal kelalaian dan undang-undang bangunan gedung terhadap pihak-pihak terkait. Proses ini menjadi langkah krusial agar korban dan keluarga memperoleh keadilan, dan agar ke depan kasus-kasus serupa dapat dicegah melalui penegakan regulasi yang tegas.

Oleh : Redaksi

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *